Memristor dan Masa Depan Komputasi: Dari Neuromorfik ke Quantum
- Rita Puspita Sari
- •
- 15 Okt 2025 01.32 WIB

Ilustrasi Memristors
Selama bertahun-tahun, dunia elektronik berkembang di atas tiga komponen utama: resistor, kapasitor, dan induktor. Ketiganya menjadi dasar bagi hampir seluruh sirkuit listrik modern, dari perangkat sederhana hingga komputer super. Namun, pada tahun 1971, fisikawan teoretis Leon Chua dari Universitas California, Berkeley, memperkenalkan sesuatu yang menantang batas pengetahuan yaitu memristor, singkatan dari memory resistor atau resistor berdaya ingat.
Penemuan ini membawa angin segar bagi dunia elektronik karena memristor memiliki sifat unik yang tidak dimiliki oleh ketiga elemen lainnya. Jika resistor biasa hanya menahan arus listrik, maka memristor mampu mengingat berapa banyak arus yang telah melewatinya. Dengan kata lain, ia menyimpan “jejak memori” dari aktivitas listrik yang pernah dialaminya.
Dari Teori ke Kenyataan: Lahirnya Komponen dengan Memori
Selama beberapa dekade setelah diperkenalkan, memristor hanya hidup di ranah teori. Tidak ada bukti nyata bahwa komponen semacam itu bisa dibuat secara fisik. Namun pada tahun 2008, para peneliti dari Hewlett-Packard (HP) berhasil membuktikan bahwa memristor bukan hanya sekadar ide. Mereka menciptakan perangkat nyata menggunakan lapisan tipis titanium dioksida (TiO₂) yang menunjukkan perilaku khas memristor.
Ciri utama yang menandai keberadaan memristor adalah kurva histeresis — sebuah grafik berbentuk seperti angka delapan yang “terjepit di tengah” ketika hubungan antara arus dan tegangan diukur. Bentuk ini menunjukkan bahwa resistansi memristor berubah tergantung pada arah arus listrik yang mengalir, menandakan adanya efek memori.
Dengan kemampuan mengingat arus masa lalu, memristor mulai dianggap sebagai komponen yang dapat menyimpan informasi secara fisik tanpa memerlukan sumber daya eksternal. Artinya, ketika listrik dimatikan, ia tetap bisa “mengingat” status terakhirnya — mirip seperti bagaimana otak manusia menyimpan ingatan.
Dari Memori ke Logika Kuantum
Untuk memahami mengapa memristor dianggap penting bagi masa depan komputasi kuantum, kita perlu melihat perbedaan antara komputasi klasik dan komputasi kuantum.
Dalam sistem klasik, semua informasi disimpan dalam bentuk biner 0 dan 1. Sementara itu, komputer kuantum menggunakan qubit yang dapat berada dalam superposisi, yaitu kondisi di mana qubit bisa mewakili 0 dan 1 secara bersamaan dengan probabilitas tertentu. Qubit juga dapat berketerikatan (entangled), artinya dua qubit bisa saling terhubung sehingga perubahan pada satu qubit akan langsung memengaruhi qubit lainnya.
Nah, meskipun memristor tidak bekerja di skala kuantum, kemampuan memristor yang bergantung pada riwayat arus listrik membuatnya secara matematis mirip dengan operasi logika kuantum.
Dengan pengaturan tegangan dan umpan balik (feedback) yang tepat, jaringan memristor bisa meniru perilaku gerbang kuantum (quantum gate) seperti Hadamard gate atau CNOT gate, dua komponen dasar dalam membentuk keterikatan kuantum.
Hal inilah yang memunculkan ide menarik di kalangan peneliti: mungkinkah sistem analog klasik seperti sirkuit optik, chip neuromorfik, atau bahkan jaringan biologis, digunakan untuk mensimulasikan perilaku kuantum tanpa benar-benar menggunakan partikel kuantum?
Jika iya, memristor bisa menjadi “jembatan konseptual” yang menghubungkan dunia deterministik transistor klasik dengan dunia probabilistik mekanika kuantum.
Eksperimen Unik: Saat Lendir Diuji sebagai Memristor
Salah satu penelitian yang menarik perhatian dunia ilmiah datang dari jurnal Frontiers in Soft Matter. Tim peneliti mencoba menguji hipotesis unik: bisakah organisme hidup, seperti lendir jamur (slime mold) Physarum polycephalum, berperilaku seperti memristor?
Penelitian ini berangkat dari ide bahwa aliran cairan internal dan konduktivitas listrik yang berubah-ubah pada organisme ini bisa menimbulkan efek memristif. Jika benar, maka ini menjadi bukti bahwa sistem biologis hidup mampu meniru perilaku kuantum tanpa bantuan teknologi buatan manusia.
Untuk mengujinya, para peneliti menerapkan tegangan bolak-balik (AC) ke jaringan lendir tersebut dan mengukur bagaimana arus merespons. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih menampilkan kurva histeresis berbentuk angka delapan seperti pada memristor buatan, hasil pengukuran menunjukkan kurva elips yang halus — ciri khas resistor dan kapasitor biasa.
Kesimpulannya:
Physarum polycephalum tidak menunjukkan perilaku seperti memristor, melainkan hanya berfungsi sebagai sirkuit penyimpan muatan sederhana.
Kegagalan yang Justru Mengungkap Kebenaran
Meskipun hasil penelitian itu mengecewakan bagi sebagian ilmuwan yang berharap menemukan memristor biologis, sebenarnya ini merupakan kemajuan penting dalam sains.
Dengan membuktikan bahwa slime mold tidak berperilaku seperti memristor, para peneliti kini bisa memperjelas batas sistem biologis yang bisa atau tidak bisa meniru logika kuantum.
Penemuan ini juga membantu memisahkan metafora dari mekanisme, sebab dalam penelitian sains modern, istilah “mirip kuantum” sering kali digunakan secara longgar. Tidak semua fenomena kompleks berarti berhubungan dengan kuantum dan penelitian ini membuktikan hal itu secara ilmiah.
Memristor di Luar Dunia Kuantum: Otak Buatan dan Pembelajaran Mesin
Walau memristor belum membuktikan keunggulannya dalam komputasi kuantum, potensi sesungguhnya mungkin justru berada di bidang lain: komputasi neuromorfik.
Ini adalah bidang yang berusaha meniru cara kerja otak manusia, di mana neuron saling terhubung dan memperkuat hubungan berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Dalam sistem ini, memristor berfungsi seperti sinapsis otak, yaitu penghubung antar neuron yang dapat memperkuat atau melemah tergantung seberapa sering digunakan. Dengan kata lain, memristor mampu “belajar” dari pengalaman listriknya sendiri, membuatnya ideal untuk sistem kecerdasan buatan yang membutuhkan kemampuan adaptasi dan pembelajaran berkelanjutan.
Keunggulan lain memristor adalah efisiensi energinya. Berbeda dengan memori tradisional seperti DRAM atau Flash yang memerlukan daya untuk mempertahankan data, memristor dapat menyimpan informasi bahkan tanpa aliran listrik. Ini membuatnya sangat cocok untuk komputer hemat energi dan perangkat edge AI di masa depan.
Memristor: Simulasi Kuantum Tanpa Prosesor Kuantum
Dalam komputasi kuantum sejati, qubit bekerja dengan prinsip superposisi dan keterikatan kuantum, dua fenomena yang mustahil direplikasi sepenuhnya oleh sirkuit klasik. Namun, memristor memberikan alternatif menarik: sebagai simulator analog.
Simulasi analog ini memungkinkan para ilmuwan untuk menguji algoritma kuantum atau metode optimisasi kompleks yang terinspirasi dari teori kuantum tanpa memerlukan prosesor kuantum yang mahal dan rumit. Dengan cara ini, memristor dapat membantu mempercepat riset komputasi kuantum dengan biaya yang lebih rendah dan infrastruktur yang lebih sederhana.
Batu Loncatan Menuju Masa Depan Komputasi
Perjalanan memristor — dari teori Leon Chua hingga eksperimen biologis — menunjukkan bahwa inovasi sering kali lahir dari pertemuan dua dunia yang tampak tidak berhubungan: antara fisika dan biologi, determinisme dan probabilitas, elektronika dan kecerdasan buatan.
Walau slime mold gagal menjadi “memristor hidup,” penelitian ini membantu memperluas wawasan tentang batas kemampuan sistem alami dan potensi besar komponen buatan dalam meniru cara kerja otak serta logika kuantum.
Di masa depan, memristor bisa menjadi pondasi penting dalam pengembangan komputer yang lebih cerdas, efisien, dan mendekati cara berpikir manusia.
Dan siapa tahu, mungkin justru dari komponen kecil inilah lahir generasi baru teknologi kuantum dan kecerdasan buatan yang akan mengubah dunia.