IDC: Perusahaan APAC Beralih ke Edge untuk Dukung Adopsi AI


Ilustrasi Edge Computing

Ilustrasi Edge Computing

Perkembangan kecerdasan buatan generatif (Generative AI/GenAI) mendorong perusahaan di Asia Pasifik (APAC) untuk menata ulang strategi infrastruktur digital mereka. Laporan terbaru International Data Corporation (IDC) yang disusun untuk Akamai Technologies menegaskan bahwa arsitektur cloud terpusat semakin tidak memadai menghadapi kebutuhan skala, kecepatan, dan kepatuhan regulasi yang menyertai tren AI.

 

Lonjakan Kebutuhan Infrastruktur AI

Dalam laporan bertajuk The Edge Evolution: Powering Success from Core to Edge, IDC memperkirakan layanan cloud publik berbasis edge akan tumbuh pesat dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 17% hingga 2028. Nilai belanja diproyeksikan mencapai USD 29 miliar pada periode tersebut. Bahkan, pada 2027, sekitar 80% Chief Information Officer (CIO) di kawasan APAC diprediksi akan beralih dari layanan cloud tradisional ke edge computing untuk mendukung performa dan kepatuhan penggunaan AI.

Parimal Pandya, Senior Vice President Sales dan Managing Director Akamai Asia Pasifik, menegaskan bahwa kekuatan AI tidak terlepas dari fondasi infrastrukturnya. “AI hanyalah sekuat infrastruktur yang dijalankan. Hasil riset ini menunjukkan bisnis di APAC mulai beralih ke infrastruktur berbasis edge yang lebih terdistribusi,” ujarnya.

 

Tantangan Infrastruktur Lama

Meski adopsi GenAI berkembang pesat, IDC menemukan bahwa model infrastruktur lama masih menghadapi berbagai hambatan.

  • Multicloud yang kompleks: Sebanyak 49% perusahaan mengalami kesulitan mengelola data dan perangkat di berbagai platform cloud.
  • Kepatuhan regulasi: 50% perusahaan besar di APAC mengaku terhambat oleh regulasi yang terus berubah.
  • Kenaikan biaya: 24% organisasi melaporkan adanya lonjakan biaya cloud yang tidak terduga.
  • Performa terbatas: Model cloud hub-and-spoke menimbulkan latensi tinggi, yang tidak cocok untuk aplikasi AI real-time.

Menurut Daphne Chung, Research Director IDC APAC, GenAI kini sudah bergerak dari tahap eksperimen menuju implementasi nyata. “Strategi edge tidak lagi teoretis. Ini sudah dijalankan untuk memenuhi tuntutan dunia nyata akan kecerdasan, kepatuhan, dan skala,” jelasnya.

 

Peta Adopsi GenAI di Asia Pasifik

Laporan IDC juga memaparkan bagaimana negara-negara di kawasan APAC mengadopsi GenAI serta berinvestasi pada edge computing:

  • China: 37% perusahaan sudah mengoperasikan GenAI pada tahap produksi. Investasi edge semakin meningkat, terutama di sektor industri dan manufaktur.
  • Jepang: Baru 38% perusahaan yang mengimplementasikan GenAI di tahap produksi. Namun, 98% perusahaan berencana menjalankan beban kerja AI di cloud publik.
  • India: Sebanyak 82% perusahaan masih berada di tahap uji coba GenAI, sementara 16% sudah masuk tahap produksi. Fokus investasi edge lebih banyak diarahkan ke kota-kota tingkat dua dan tiga.
  • ASEAN: 91% perusahaan memprediksi GenAI akan mendisrupsi bisnis dalam 18 bulan mendatang. Investasi edge meningkat, khususnya untuk mendukung kebutuhan jarak jauh dan hybrid.

Data ini menunjukkan bahwa meski tingkat adopsi berbeda-beda, hampir seluruh negara di kawasan sepakat bahwa edge computing akan menjadi bagian penting dalam mendukung ekosistem AI.

 

Cloud + Edge Jadi Masa Depan

IDC menegaskan bahwa masa depan infrastruktur digital tidak lagi hanya mengandalkan cloud terpusat. Perusahaan harus mengadopsi pendekatan hybrid antara cloud dan edge. Dengan cara ini, data bisa diproses lebih dekat ke sumbernya, mengurangi latensi, serta meningkatkan efisiensi biaya dan kecepatan.

Selain itu, keamanan data harus menjadi prioritas utama. IDC merekomendasikan penerapan strategi keamanan berbasis Zero Trust untuk memastikan bahwa setiap akses data selalu terverifikasi. Interoperabilitas juga penting agar perusahaan tidak terjebak pada satu penyedia layanan (vendor lock-in) dan memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi maupun regulasi.

 

Peluang dan Tantangan ke Depan

Pergeseran dari cloud terpusat ke edge bukan sekadar tren teknologi, melainkan kebutuhan strategis. Dengan beban kerja AI yang semakin kompleks, perusahaan membutuhkan infrastruktur yang mampu memberikan kecepatan pemrosesan sekaligus menjawab tantangan regulasi data di tiap negara.

Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan baru, mulai dari kebutuhan investasi besar, ketersediaan talenta digital, hingga integrasi sistem lama dengan infrastruktur modern. Oleh karena itu, kolaborasi dengan mitra teknologi seperti penyedia cloud dan edge menjadi krusial.

Dengan dukungan ekosistem yang tepat, perusahaan-perusahaan di kawasan APAC diyakini mampu memanfaatkan AI secara lebih efektif, memperkuat daya saing, dan menghadapi disrupsi digital dengan lebih percaya diri.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait